EN ID

Bandara Tak Boleh Lagi Tergantung Tarif

20 Aug 2014

Kembali ke List


MAKASSAR - Sejak 23 Juli 2010, Tommy Soetomo menjabat President Director Angkasa Pura Airports. Terbilang empat tahun sudah dia memuncaki posisi di BUMN yang mengelola bandara tersebut. Mantan bankir kelahiran Cimahi pada 1960 itu bercita-cita menjadikan 13 bandara di Angkasa Pura Airports sekelas bandara internasional dunia. Berikut, wawancara Okezone dengan Tommy Soetomo.
 
Apa program strategis di bandar udara yang dikelola AP Airports?
 
Kita punya lima strategic direction. Jadi, kita mengukur keberhasilan bandara itu kita belajar dari dunia internasional. Kesimpulannya ada tiga. Bandara-bandara di dunia ini semakin ke sini semakin tidak boleh bergantung pada tarif.
 
Maksudnya tarif itu apa?
 
Kalau Anda naik pesawat itu kan masuk ke bandara harus bayar. Nah itu tidak boleh lagi. Itu pendapatan aero namanya. Jadi kita harus lebih besar pendapatan non-aero, misalnya restoran, food and beverage, advertising, yang seperti itu.
 
Lalu, selain itu?
 
Yang kedua, ukuran keberhasilan bandara itu ialah customer satisfaction index (CSI) atau indeks kepuasan pelanggan. Bandara Sultan Hasanuddin ini adalah salah satu dari empat bandara besar kita yang diukur dan dinilai oleh Airport Council International (ACI). CSI yang dihitung di bandara ukurannya 1 sampai 5. Nah, Bandara Hasanuddin ini sudah mencapai level 4 CSI. Beberapa bandara di dunia ini ada yang sudah 5+ saking bagusnya.
 
Ada berapa banyak ukuran CSI tersebut?
 
Ukurannya ada banyak sekali. Jadi, misalnya, kalau Anda menunggu bagasinya lama, maka pelayanannya berarti jelek. Kalau check-in-nya juga lama, taksi jelek, itu bisa mengurangi penilaian.
 
Apa yang ingin ditiru dari konsep bandara internasional?
 
Bandara internasional di seluruh dunia itu kita ingin meniru pendapatan non-aero-nya yang saya sebut tadi itu rata-rata 60 persen. Kita itu ketika saya baru menangani Angkasa Pura Airports masih 20 persen. Sekarang sudah 40 persen, alhamdulillah.
 
Bisa diberi contohnya?
 
Contoh sederhananya begini, kalau di Singapura misalnya: 'Eh kamu, pesawatmu asal datang aja deh, gratis nggak pake landing-fee, nggak pake fee ini fee itu. Asal penumpangnya belanja'. Gitu lho. Gampangnya contohnya kayak gitu. Jadi, bergantung pada pendapatan yang bukan tarif. Terus, yang kedua, customer satisfaction, jadi semua usaha harus menuju kepuasan si pengguna jasa. Mulai dari toilet, taksi, lama menunggu bagasi, lama check-in, itu banyak sekali dan dinilai semua.
 
Apa faktor lainnya?
 
Ketiga, bagaimana kontribusi kita pada lingkungan. Jadi, alhamdulillah, contohnya saya punya karyawan di Bandara Sultan Hasanuddin ada 350-an orang, tapi ditambah yang berstatus non-organik sekitar 800, jadi jumlahnya 1.150-an. Tapi kalau komunitas bandara termasuk karyawan airlines, kargo, ground-handling, totalnya 4.000. Kita bayangkan badan usaha seperti ini bisa mempekerjakan empat ribu orang. Jadi itu kontribusi lingkungan kita. Selain sifatnya non-ekonomilah yang seperti itu.

[Pardika Dewi RS/Sumber: okenews.com]

Keatas